Sejarah dan Legenda Mangunan

Administrator 30 April 2014 17:20:39 WIB

Sejarah

Berbicara tentang sejarah Mangunan akan mudah di pahami jika kita mencoba melihat jauh kebelakang, dari mulai terbelahnya Kerajaan Mataram Islam karena beberapa perjanjian sebagai wujud nyata politik adu domba Belanda. yang pertama perjanjian Giyanti ( 13 Februari 1755 ) yang memecah Mataram menjadi 2 yakni Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. yang kedua perjanjian Salatiga ( 17 Maret 1757 ), Mataram terbagi menjadi 3 wilayah dengan berkurangnya sebagian besar wilayah Kasunanan Surakarta Menjadi wilayah Mangkunegaran. pada perjanjian ini Salatiga ini muncul apa yang dinamakan tanah Enclave atau daerah kantong yang berada di wilayah negara lain. ada wilayah Kasunanan ( Imogiri dan Kotagede ) dan ada wilayah Mangkunegaran ( ngawen ) yang berada di wilayah Kasultanan Yogyakarta. adapun wilayah kapanewon Imogiri Surakarta terdiri atas 9 desa ( Imogiri, Girirejo, Karang Tengah, Karang Talun, Kebonagung, Mangunan, muntuk, Temuwuh, dan Dlingo ) dan wilayah kapanewon Kotagede Surakarta terdiri atas 7 desa ( Terong, Jatimulyo, Bawuran, Wonolelo, Segoroyoso, Jagalan & Singosaren ). 

Dari uraian sejarah tentang tanah enclave diatas, maka dapat disimpulkan dahulunya Kalurahan Mangunan merupakan bagian dari wilayah Kasunanan Surakarta bersama 15 desa lainnya di Kabupaten Bantul. hingga adanya beberapa keputusan Menteri Dalam Negeri ( No C.31/1/5 Tahun 1950 dan No PEM.66/29/41 Tahun 1953 ) dan di pertegas lagi dengan diterbitkanya UU Darurat No.5 Tahun 1957 Tentang Pelepasan daerah Enclave dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masuk ke dalam wilayah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Kasunanan Surakarta ( Imogiri Ska dan Kotagede Ska ) masuk kabupaten Bantul dan wilayah Mangkunegaran ( Ngawen ) masuk kabupaten Gunungkidul.

 

Legenda

Berdasarkan tutur dari salah satu sesepuh Kalurahan Mangunan, asal mula Kalurahan Mangunan ( atau yang sebelumnya masih menjadi salah satu wilayah dengan desa Girirejo ) berasal dari cerita perjalanan spiritual jajah desa milangkori Sunan Kalijaga untuk tujuan syiar Islam sekitar abad XIV. Ketika Sunan Kalijaga berada di Kawasan Bagelen Purworejo , bertemu penyadap nira bernama Cokrojoyo yang menyiapkan penyadapan dengan mengucapkan mantra “ klonthang klanthung, wong deres buntuti bumbung, kowe gelem opo ora ? “ Sunan Kalijaga tertarik dengan perilaku dan doa Cokrojoyo dan bermaksud mengajarkan doa secara islami. Akan tetapi Cokrojoyo marah kepada Sunan Kalijaga. Setelah turun dari pohon aren, Sunan Kalijaga meinata ijin untuk membuat gula dengan tempurung kelapa dan di bungkus dengan daun pisang kering, setelah selesei Sunan Kalijaga berpesan, “jangan di buka sebelum saya pergi jauh”. Setelah Sunan Kalijaga meninggalkan tempat tersenut, Cokrojoyo yang penasaran kemudian membuka cetakan gula dari tempurung yang di bungkus daun pisang tersebut. Dan terkejut ketika yang di lihat bukan gula melainkan emas, seketika itu Cokrojoyo merasa bersalah karena berbuat kasar kepada Sunan Kalijaga serta berkeinginan kuat menjadi muridnya, seketika itu juga Cokrojoyo pamit kepada istrinya untuk mencari Sunan Kalijaga.

Perjalanan Cokrojoyo semakin hari semakin jauh meninggalkan Bagelen hingga di suatu tempat, menjelang pagi mendengar suara orang adzan yang diyakini adalah Sunan Kalijaga.  Setelah di datangi ternyata Sunan Kalijaga sudah melakukan sholat subuh. Selesai sholat, Cokrojoyo meminta maaf kepada Sunan Kalijaga dan mengutarakan niatnya untuk menjadi murid beliau. Suna Kalijaga meminta Cokrojoyo dengan syarat harus duduk bersila menunggu tongkat yang di tancapkan oleh Sunan Kalijaga yang di tinggal pergi sampai beliau kembali lagi. Konon ceritanya, Sunan Kalijaga baru kembali ke tempat tersebut 8 tahun kemudian yang lokasinya telah berubah menjadi hutan bambu berduri ( pring ori ), lantas di sulutlah hutan tersebut hingga api tampak membara yang dalam Bahasa jawa di kenal dengan “ mulad – mulad “ yang saat ini dikenal dengan kampung Moladan. Nyala api menghabiskan hutan bambu dan Cokrojoyo di temukan masih duduk bersila menunggu tongkat dalam keadaan meninggal. Sunan Kalijaga kemudian menggendong Cokrojoyo ke lembah untuk di sucikan. Sumber mata air tempat mensucikan Cokrojoyo hingga kini bernama Sendang Banyu Panguripan karena telah menghidupkan Cokrojoyo, tempat tersebut berada di Padukuhan Banyuurip, Jatimulyo, Dlingo, Bantul. Setelah hidup kembali, Cokrojoyo dikenal dengan nama Sunan Geseng, karena konon tubuhnya gosong berwarna hitam terbakar api. Sunan Kalijaga menggendong Sunan Geseng untuk melanjutkan perjalanan dan tiba di sebuah bukit untuk beristirahat, saat itu Sunan kalijaga ingin menguji muridnya yang hidup kembali dan menjadikan pohon lo yang berdaun putih sebagai objek untuk menguji indera Sunan Geseng yang sebenarnya mengetahui tanaman tersebut adalah pohon Lo. Merasa penasaran dengan pertanyaan gurunya, Sunan Geseng menjawab dengan tanaman jati dan untuk menyakinkannya, Sunan Kalijaga menyebut dengan pohon Kluwih. Perdebatan hebat kedua tokoh sakti tersebut mengakibatkan hilangnya pohon lo putih dan berubah menjadi pohon Jati Kluwih. Hingga saat ini tempat tersebut bernama pedukuhan loputih yang di tengah kampung tumbuh pohon Jati Kluwih. Perjalanan Sunan kalijaga dan Sunan Geseng di lanjutkan ke arah barat hingga di suatu tempat Sunan Geseng di perintahkan untuk memulihkan fisik dan batinnya dengan bersemedi yang dalam Bahasa jawa “ Ambek manekung “ atau berdiam diri ( ambek ) memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa ( Manekung ) untuk kesembuhanya. Tempat tersebut dikenal dengan nama Bengkung.

Pada era kerajaan mataram pada abad XVII, Sultan Agung Hanyokro Kusumo melakukan perjalanan “ nitik siti wangi “ yang akan di gunakan sebagai makam raja raja mataram. Konon perjalanan Sultan Agung menuju ke arah selatan, dan bertemu kyai Kajoran disuatu tempat yang saat ini dikenal dengan Pedukuhan Kajor, Selopamioro, Imogiri. Kyai Kajoran memberi petunjuk keberadaan “ siti wangi “ terletak di sebuah bukit dengan tanda burung merak, bukit tersebut berada di sebelah utara. Ketika itu Sultan Agung melanjutkan perjalanan ke utara dan tiba di suatu tempat yang kering menjelang waktu sholat ashar, di tancapkanlah tongkat pada sebuah tebing dan seketika itu keluar air ( sumurupo banyu ) yang tempat itu sekarang di kenal dengan pedukuhan Banyusumurup, Giri Rejo, Imogiri.

Perjalanan berlanjut hingga terhenti di sebuah bukit dan sultan agung naik ke sebongkah batu kemudian melihat burung merak terbang. Teringat pesan Kyai Kajoran, Sultan Agung mengalami keraguan yang luar biasa yang dalam Bahasa jawa “ mangu mangu tenanan “ yang tempat tersebut di kenal dengan Pedukuhan Mangunan, Kalurahan Mangunan, Dlingo, Bantul. Adapun sebongkah batu yang ada di tempat tersebut di kenal dengan watu simangu. Sultan Agung memastikan keberadaan “ siti wangi “ dengan mulai menuju ketempat burung merak terbang, ternyata hanya di temukan sebuah tempat dengan hutan purba dan tebing batu yang mengeluarkan air sangat jernih yaitu pertapaan Sunan Geseng, yang hingga saat ini dikenal dengan pertapaan Bengkung.  Sultan Agung kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat burung merak itu hinggap, disana letak keberadaan “siti wangi” dan hingga saat ini tempat tersebut di kenal sebagai makam raja raja Mataram di panjimatan Imogiri Bantul.

Kebijakan Privasi

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License